Recent Articles

Blog Search

Sejarah Hari Buruh

Sejarah Hari Buruh

Memperingati Hari Buruh yang bertepatan tanggal 1 Mei 2018 ini, DiKlikAja.com ingin memberi informasi mengenai sejarah Hari Buruh, karena setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional. Begitu pula dengan masyarakat Indonesia.

Jika melihat ke belakang, hari yang dikenal dengan nama May Day ini pada awalnya hanya dirayakan sebagai festival musim semi di bagian belahan bumi utara. Namun perayaan itu berubah ketika memasuki akhir abad 19.

Makna 1 Mei mulai berubah ketika terjadinya insiden Haymarket Affair di Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) pada 4 Mei 1886, dan bangkitnya sosialisme yang menjadikan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional.

Buruh di seluruh dunia, akan turun ke jalan setiap 1 Mei, untuk memperingati Hari Buruh yang dikenal luas dengan sebutan May Day itu. Ribuan buruh akan berdemonstrasi disetiap pusat pemerintahan yang ada. Biasanya mereka akan membawa atribut tuntutan pada pemerintah dan solidaritas terhadap sesama buruh di dunia.

 

Namun, tahukah kamu sejarah Hari Buruh itu sendiri di Indonesia? Yuk, liat sejarahnya.

 

Hari Buruh di Indonesia

Di Indonesia, penetapan hari buruh yang jatuh pada 1 Mei juga memiliki kisah panjang. Bahkan sempat mengalami perubahan beberapa kali. Hal itu terkait kondisi politik yang berkembang di masa itu.

 

 

Era Soeharto

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, May Day diidentikkan dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang keberadaannya. Karena itu, penetapan hari buruh internasional pada 1 Mei pada masa Orde Baru sempat ditiadakan.

Langkah awal pemerintahan Soeharto untuk menghilangkan perayaan May Day dilakukan dengan mengganti nama Kementerian Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja.

Presiden Soeharto menunjuk Awaloedin Djamin menjadi Menteri Tenaga Kerja pertama era Orde Baru. Ia dipilih karena latar belakangnya sebagai perwira polisi.

Bulan Mei 1966, Awaludin mengusahakan agar 1 Mei 1966 tidak dirayakan lagi karena dianggap berkonotasi kiri. Namun usaha itu belum berhasil karena serikat buruh masih kuat. Baru sejak 1 Mei 1967, peringatan Hari Buruh dihapus.

Indonesia pernah memiliki serikat buruh yang berorientasi kelas, khususnya pada era Demokrasi Terpimpin melalui Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Ketika Orde Baru berkuasa, serikat buruh berorientasi kelas ini dibasmi secara brutal, yang melahirkan trauma sejarah panjang hingga sekarang.

Perkembangannya kemudian, serikat buruh digiring untuk berorientasi ekonomis. Hal itu dimulai dengan penyatuan serikat buruh yang tersisa dari huru-hara 1965 ke dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang kemudian menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Penataan hari buruh nasional kemudian dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja pada era Soeharto sebagai peringatan empat tahun berdirinya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FSBI) pada tahun 1973.

FSBI adalah wadah bersatunya organisasi-organisasi buruh di seluruh Indonesia yang sebelumnya terpencar-pencar dalam berbagai organisasi.

FSBI pada masa Orde Baru sangat dekat dengan pemerintah, bahkan terkesan sebagai birokrat, sehingga nasib buruh pun masih tidak banyak berubah. Bahkan, banyak pula dari kalangan buruh yang tidak tahu keberadaan organisasi ini.

Sain itu, FSBI juga belum sepenuhnya independen karena masih didanai pemerintah. Pada 1986, muncul ide untuk menarik iuran sendiri dari para anggotanya.

Selama masa pemerintahan Orde Baru, buruh masih melakukan upaya pemogokan kerja, meski tak ada aksi unjuk rasa besar yang berarti seperti saat ini.

Pada masa itu pula, tuntutan buruh akan upah layak, cuti haid, hingga upah lembur mulai digaungkan.

Komisi Upah yang saat itu dibentuk unutuk mengakomodasi kepentingan buruh juga mulai bersuara adanya proses penetapan upah yang tidak adil bagi buruh.

Teten Masduki yang ketika itu menjadi juru bicara di Komisi Upah mengungkapkan bahwa buruh di Indonesia tak pernah diikut sertakan dalam menentukan upah yang seharusnya mereka terima.

Badan pengupahan yang ada, tidak pernah memihak pada kepentingan buruh karena serikat buruh resmi yang diakui pemerintah lemah dan dilemahkan.

 

 

Era Reformasi

Aksi unjuk rasa ribuah buruh dan mahasiswa kembali dilakukan pada 1 mei 2000. Ketika itu, para buruh menuntut agar 1 Mei kembali dijadikan hari buruh dan hari libur nasional.

Unjuk rasa yang disertai dengan mogok kerja besar-besaran di sejumlah wilayah di Indonesia itu membuat gerah para pengusaha. Pasalnya, aksi mogok berlangsung hingga satu minggu.

Di sisi lain, buruh bersikeras meminta kepada pemerintah agar menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Sejumlah pegawai terancam diputus kontrak oleh perusahaan lantaran ikut dalam aksi ini.

"Pada tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea mengatakan, 1 Mei tak akan dijadikan hari libur nasional. Pasalnya, Pemerintah telah menetapkan 15 hari libur nasional, sehingga terlalu berlebihan jika hari itu dijadikan hari libur," dikutip dari Kompas, 24 April 2002.

Tidak ada perkembangan apapun soal tuntutan buruh agar 1 Mei dijadikan hari buruh dan hari libur nasional selama masa pemerintahan Gus Dur atau pun Megawati.

Memasuki masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), belum tampak tanda-tanda dikabulkannya tuntutan para buruh.

Namun, pada masa ini tuntutan yang dilancarkan tidak lagi soal libur nasional, tetapi juga soal revisi UU Ketenagakerjaan hingga jaminan sosial yang kemudian membuahkan BPJS Kesehatan hingga BPJS Ketenagakerjaan.

 

Era SBY

Saat masih menjabat sebagai Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono mengaku tidak sepakat dengan rencana buruh untuk melakukan aksi mogok nasional. Menurutnya, hal itu hanya akan merugikan perusahanan dan juga pekerja.

Meskipun saat itu ia tak melarang adanya aksi, namun SBY meminta agar mogok nasional dan aksi demo besar-besaran dipikirkan kembali.

"Saya mendapat informasi, kalau benar, akan ada rencana mogok nasional oleh para pekerja. Unjuk rasa, protes itu hak. Mogok bisa terjadi dalam kehidupan demokrasi. Yang saya harapkan berpikirlah sekali lagi apakah mogok nasional itu membikin baik keadaan atau memperburuk keadaan," ujar Presiden dalam sambutan peresmian perluasan fasilitas produksi Grup Tempo di Cikarang, Jawa Barat, Selasa (18/4) seperti dikutip dari Kompas, 19 April 2006.

Pada tahun 2006, satu pekan sebelum demo buruh, SBY memutuskan menyerahkan tugasnya sementara kepada Wapres JK karena dirinya melakukan lawatan ke negara-negara di Timur Tengah selama 10 hari.

Pada tahun itu pula, Menkokesra Aburizal Bakrie menyatakan pemerintah tak akan menetapkan hari buruh sebagai hari libur nasional pada tahun ini atau pun tahun 2007 dengan alasan apa pun.

Sikap pemerintah tidak berubah hingga akhirnya pada tahun 2013 SBY resmi menandatangani Peraturan Presiden yang menetapkan bahwa 1 Mei sebagai hari libur nasional bersamaan dengan perayaan hari buruh yang diperingati seluruh penduduk dunia.

"Hari ini, saya tetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional dan dituangkan dalam Peraturan Presiden," kicau Presiden melalui akun Twitter resminya, @SBYudhoyono, Senin (29 Juli 2013) malam.

Rencana ini sebelumnya pernah disampaikan SBY ketika menerima pimpinan konfederasi dan serikat pekerja di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/4/2013). Presiden saat itu didampingi Wakil Presiden Boediono dan para menteri.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyambut baik hal ini. Menurutnya, ini adalah kado dari Presiden untuk semua buruh di Indonesia. Secara terpisah, Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha mengatakan penetapan 1 Mei sebagai hari libur nasional merupakan kejutan dari Presiden untuk semua buruh.(*)

 

 

Referensi: Wikipedia.org, Kompas.com

Tags: Sejarah

Leave a Reply

* Name:
* E-mail: (Not Published)
   Website: (Site url withhttp://)
* Comment:
Type Code